Aku di perkosa dan Gila seks..

Secara rutin aku dengan bisa pula tanpa suamiku pulang mudik setiap 3 bulan. Maklum orang tuaku sudah uzur dan aku sama suamiku, Mas Marsudi, mempunyai pastinya waktu untuk jalan sana jalan sini. Anak-anak-ku sudah pada mandiri. Walaupun usiaku baru 42 tahun dan usia Mas Marsudi 47 tahun tetapi kami sudah berstatus kakek & nenek deng 2 cucu yang lucu-manis. Kami merupakan pasangan yang sehat dan berbahagia. Sisa-sisa kecantikkan masa mudaku masih banyak menjadi perhatian para pria. Bahkan para perjaka tak 
akan mengira kalau aku sudah nenek-nenek. Orang bilang sex appealku begitu menonjol. Dengan tinggi badanku yang 165 cm dan berat tubuh yang 52 kg mereka bilang tubuhku begitu sintal. Suamiku orang swasta yang tak kenal lelah. Ada saja yang dia kerjakan untuk kesejahteraan ekonomi kami. Satu hal yang masih dominan dalam diri kami masing-masing adalah libido kami yang masih terus menggebu. Kami masih melakukan hubungan sex dengan penuh ber-kobar-kobar setidaknya 3 kali seminggu. Kami merupakan pasangan yang bahagia dalam masalah sex ini. Tak ada kekecewaan yang menggelantung sebagaimana yang sering aku dengar dari keluarga yang lain. Aku selalu mendapatkan orgasmeku setiap kali berkaitan dengan suamiku.
Saat ini kami berada di stasiun Kota, Jakarta, menunggu kedatangan KA BIMA yang akan membawa kami ke Surabaya tempat orang tua kami tinggal. Tepat jam 7.30 malam kereta mulai bergerak ke arah selatan menuju satsiun Gambir, Manggarai dan Jatinegara untuk kemudian akan lurus menuju ke timur hingga stasiun Gubeng, Surabaya.

FOTOKU
Dinginnya gerbong eksekutif BIMA membuat kami memilih banyak tidur. Mas Marsudi sendiri orangnya paling mudah tidur. Aku bilang tak boleh kesenggol bantal, karena kesenggol sedikit saja dia langsung tidur pulas. Sesudah hidangan makan malam keluar, yang langsung kami santap habis, kembali kami tertidur. Aku sendiri yang tak begitu tahan dingin, sebentar-sebentar ke toilet untuk membuang air kecil.
Kuperhatikan kursi di gerbong eksekutip ini sekitar 60 % terisi, maklum bukan hari libur. Mereka termuatnya para pedagang, karyawan yang sedang mendapatkan tugas bisa pula cuti dan sebagainya. Kami kebagian kursi paling belakang, sehingga setiap penumpang selalu melewati kursi kami setiap akan menuju toilet kereta yang lokasinya tepat berada di belakang kursi kami. Dan yang paling aku perhatikan para pria selalu menyempatkan matanya untuk melirik ke aku. Aku sudah terbiasa dengan hal semacam itu. Sering dalam pikiran nakalku untuk mencoba menggoda mereka, apalagi kalau kebetulan ketemu orang ber-type Bon Jovi yang rambutnya bebas terurai, dadanya yang aduhai. Ah, tetapi itu cuma pikiran ngelanturku. Mas Marsudi walaupun typenya jauh dari yang namanya Bon Jovi telah memberikan segalanya padaku, mau apa lagi.
Sekitar jam 3 dini hari aku kebelet kencing. Saat aku keluar gerbong menuju toilet kulihat dalam kegelapan ada seorang pria yang sedang menunggu. Rupanya sesorang sedang berada di toilet. Aku malas untuk bolak-balik di atas kereta yang melaju 80 km per jam ini. Aku ikut nunggu saja. Begitu orang keluar dari toilet aku pikir pria yang lebih dahulu menunggu itu bergegas untuk masuk, tetapi ternyata dia tak bergerak dari tempatnya. Aku pikir dia cuma mau cari angin barangkali. Jadi akulah kini yang bergerak masuk toilet. Begitu aku masuk langsung disambut cahaya lampu toilet yang benderang. Tetapi begitu aku mau menutup pintu tiba-tiba kulihat sebuah tangan berbungkus jaket kulit mengganjal antara daun pintu dengan kusennya. Aku panik, mau apa orang ini. Dia mendorong pintuku demikian kuat yang aku tak mampu menahannya dia ikut memasuki kamar toilet yang sempit itu. Dia bekap mulutku kuat-kuat dengan tangannya agar aku tak teriak. Aku begitu ketakutan. Aku panik.
Aku coba gedor-gedor dinding toilet agar orang-orang lain mendengar dan menolongku, tetapi lajunya kereta yang disertai berisiknya gerbong yang berlari kencang gedoran tanganku cuma sia-sia. Pria itu membisikkan padaku,
“Bu, jangan berisik. Awas nanti kalau kedengaran bapak di sebelah dinding dan kita ketahuan berdua-an di kamar toilet ini akau akan berlagak bahwa ibulah yang menarik aku masuk ke toilet dengan ibu”.
Deg, hatiku langsung terpukul. Dan ternyata dia tak memberi aku berpikir super. Dia langsung singkap rok-ku dan turunkan celana dalamku. Dengan tetap membungkam mulutku tangannya menyuruh aku untuk berbalik membelakangi dia. Dia dorong tubuhku hingga aku hampir terjatuh hingga tanganku secara refleks meraih pipa dan kran di depanku. Posisi tubuhku mau tak mau menjadi setengah nungging. Pada saat itu pula aku merasakan tangannya mengelusi bokong dan meremasi nonokku. Dimainkannya jarinya pada kelentitku dan dimasuk-masukannya ke lubang mekiku. Dengan tangan lainnya yang terus membekat mulutku membuat aku tak dapat berteriak kecuali berpikir dan merasakan apa yang terjadi. Akhirnya karena ketakutan dan kekagetan yang melandaku, aku merasa lebih baik mengalah dari pada terjadi hal-hal yang mungkin berakibat fatal padaku.
Remasan jari-jari pada nonokku kurasakan mulai melanda birahiku dan semakin hebat akibatnya. Aku merasakan nonokku mulai membasah. Cairan birahiku mulai mengalir keluar di lubang mekiku. Aku mengerang penuh kehausan. Dan saat jari-jarinya dia cabut dan angkat aku begitu tak sabar menunggu penggantinya. Dan saat sebuah tonjokkan bulatan menggairahkan mendesak bibir mekiku aku tahu bahwa peler pria itu telah siap ngentot nonokku. Aku langsung menggelinjang. Kini aku didorong oleh suatu keinginan yang kuat sekali untuk merasakan peler orang lain yang bukan suamiku menembusi memekku. Keinginan itu dijamin nafsu birahiku yang telah menyergap aku yang membuat aku terbakar hingga melumpuhkan nalar sehatku. Refleks pada pantatku kini adalah menggoyang agar peler itu lekas meruyak ke dalam mekiku yang sudah demikian gatal menantinya. Aku merintih.
Aku dilanda prahara nikmatnya pemerkosaan padaku ini. Dan kini yang terjadi adalah dua insan yang berpacu untuk meraih orgasmenya dalam ruang toilet sempit diatas rel yang melaju antara Jakarta Surabaya. Kontol pria itu dengan begitu cepat memompa kemaluanku. Dan aku sendiri menjadi sepenuhnya menyambutnya. Pantatku terus bergerak maju mundur mengimbangi kecepatan pompanya. Dan sepertinya memang demikianlah yang harus terjadi. Persanggama-an buah pemerkosaan ini tak berlangsung lebih dari 5 menit. Kami sama-sama menumpahkan cairan-cairan kami. Sperma menggairahkan pria itu menyemprot-nyemprot dan membanjiri liang mekiku. Aku meraih orgasme dalam sensasi birahinya korban pemerkosaan. Aku begitu puas. Demikian jumbo kepuasan orgasme yang aku dapatkan dan rasakan melebihi lebih dari 5 tahun orgasmeku yang secara rutin aku dapatkan dari suamiku. Aku melenguh kelelahan.
Aku masih setengah nungging dan lelah saat pria itu demikian saja menghilang ke balik pintu. Dia meninggalkan aku sendirian kembali. Kini pintu aku kunci. Dan aku mulai berkilas balik. Saat pria itu mengganjalkan tangannya di pintu, kemudian membekap mulutku, kemudian menyibak rok-ku dan memelorotkan celana dalamku, kemudian membalikkan badanku hingga setengah menungging, kemudian mengobok-obok memekku, kemudian menusukkan pelernya pada mekiku, kemudian memompakan pelernya yang aku langsung sambut dengan pantatku yang maju mundur menjemputi pompaannya. Dan yang paling akhir adalah orgasmeku yang demikian dahsyat nikmatnya mengalahkan nikmat-nikmat orgasmeku dengan suami sepanjang lebih dari 5 tahun terakhir ini. Oohh.., kenapa ini terjadi padaku.
Saat aku keluar toilet aku dihinggapi rasa bimbang, adakah aku masih istri yang setia? Adakah aku masih berhak duduk sehabis suamiku yang masih tidur pulas sejak kutinggalkan ke toilet tadi? Kulihat wajah suamiku yang begitu damai. Yang tak pernah tahu bahwa walaupun bukan mauku, aku merasa telah menghianatinya.
Peristiwa Kedua,
SOPIR BOSS
Pesta ulang tahun istri boss telah usai. Para undangan sebagian menuju mobil mereka untuk pulang, sebagian lain lagi menunggu supir masing-masing berdiri di kanopi rumah boss. Dengan ditemani istri boss aku menunggu suamiku yang saat ini masih terlihat bicara serius dengan boss serta staff direksi yang lain. Beberapa saat kemudian kulihat suamiku dengan boss mendekat ke aku. Boss yang bicara padaku,
“Maaf Bu Dibyo, Pak Dibyo saya tahan karena ada yang perlu dibicarakan untuk pertemuan dengan pengusaha Jerman besok. Ibu biar diantar Tarjo supir saya pulang lebih dahulu. Nggak apa-apa ya Bu, ampun nih”, demikian permintaan ampun boss Mas Dibyo yang tak mungkin aku sanggah lagi sebagaimana kebiasaan di lingkungan kantor kami.
Ada kebanggaan bahwa suamiku, Mas Dibyo, merupakan staff inti yang selalu dibutuhkan pada saat-saat kritis seperti ini, tetapi aku sudah terlampau banyak dikorbankan untuk hal-hal seperti ini.
Kebetulan aku meraih “door prize” saat istri boss mengundi nomer urut tamu malam ini. Lumayan aku dapat flat TV 21 inchi yang dapat aku pasang di kamar tidurku nanti. Mobil BMW 650i yang super mewah berhenti di latar kanopi begitu boss usai bicara padaku. Tarjo sang supir bergegas mengambil dooz jumbo TV-ku dan membukakan pintu kursi belakang untukku.
“Selamat malam, Bu. Wah rupanya Pak Dibyo dapat sampai malam hari ini, Bu. Soalnya saya dengar rombongan pengusaha Jerman itu minta bapak untuk membuat draft LOI (maksudnya, Letter of Intent) untuk besok pagi”. Begitu Tarjo memberikan selamat malam padaku dan menyampaikan informasi mengenai tugas Mas Dibyo hasil dari nguping pembicaraan bossnya.
Sampai di rumah aku turun lebih dahulu untuk membuka pintu dan menyalakan lampu ruang depan. Tarjo mengangkat dooz TV ke dalam rumah. Saat itu terpikir alangkah baiknya kalau Tarjo dapat sekaligus membantu membongkar TV-nya dan menaruh di kamar tidurku. Dengan senang hati dia melakukan permintaanku. Boss sudah tak nunggu saya lagi kok Bu, jadi saya dapat bantu ibu sebentar, begitu jawabnya. Saat itu kuperhatikan matanya begitu berbinar setiap aku ngajak omong. Dia tak cuma memperhatikan bibirku yang bicara tetapi juga gaun malamku yang menampakkan bahuku yang terbuka, belahan buah dadaku, pinggulku. Aku sudah terbiasa menghadapi pandangan mata pria macam itu, tetapi mestinya bukan kelasnya Tarjo. Aku merasakan bahwa sebagai pria Tarjo dijamin juga tergerak birahinya menonton perempuan seperti aku, itu jelas dari cara matanya memandangku. Aku mafhum.
Tarjo dengan cepat dan cekatan melaksanakan permintaanku. Nampaknya dia ingin benar-benar membuat aku senang. Dan sebagai terima kasihku kubuatkan minuman saat selesai memasang TV di kamar tidurku. Sementara dia minum aku masuk kamar untuk ganti baju.
Aku sedang membuka blus setengah dadaku yang tanpa kancing melalui kepalaku ketika tiba-tiba aku mendengar langkah kaki Tarjo memasuki kamarku dan sama sekali tak kuduga ketika dia memelukku dengan kuat dan langsung menciumi ketiakku. Aku berteriak tertahan karena malu kalau sampai kedengaran tetangga, sementara mukaku masih tertutup oleh blusku sehingga aku tak menonton apa-apa di sekelilingku. Dengan sigap tangan kuat Tarjo membekap mulutku dari balik blusku,
“Jangan teriak, Bu. Malu khan kalau kedengaran tetangga. Saya tak tahan nih Bu. Kepingin ngentot ibu sejak berangkat dari rumah boss tadi. Sebentar saja, Bu”. Gaya bicara Tarjo yang demikian tenang begitu membuatku jengkel dan marah. Sepertinya dia biasa melakukan hal begini kepada orang lain. Dasar begundal gila kamu, Jo.
Aku berontak dan jatuh ke ranjang tertindih tubuh Tarjo yang terus merangsek ketiak dan bagian tubuhku yang lain. Aku mulai ketakutan Tarjo akan memperkosa aku. Nggak mungkin dia berbuat begitu padaku yang istri atasan dia juga. Tetapi teriakkan dan berontakku rasanya sia-sia. Dia terlampau kuat buat aku. Dengan mudah Tarjo meringkus aku. Mulutku disumpal dengan sapu tanganku yang dia raih dari meja toiletku. Tanganku dia ikat kuat-kuat pakai tali rafiah bekas pengikat TV ke kisi-kisi ranjangku. Sementara kakiku ditahan dengan tubuhnya dengan kuat.
Aku terus berusaha berontak dengan tubuhku yang masih bebas untuk menggeliat menolak muka Tarjo yang nyungsep ke dadaku yang cuma tinggal memakai BH. Kakiku juga masih berusaha melawan kendati tubuhnya begitu kuat menindihku. Aku mulai berpikir kalau aku dapat menendang selangkangannya dijamin Tarjo akan kelonjotan. Tetapi aku tak mampu. Bahkan tangan kanan Tarjo yang telah menyingkap gaun malamku mulai menarik-narik celana dalamku. Aku mulai menangis putus asa. Bagaimanapun nafsu jahat Tarjo akan kesampaian juga.
Dengan menangis ini Tarjo jadi tahu bahwa perlawananku tinggal separoh, selebihnya tinggal keputus asa-an dan penyerahan tubuhku yang siap untuk melampiaskan nafsu binatangnya. Hal ini membuat Tarjo menjadi lebih gila dan mulai melepasi ikat pinggang kemudian memerosotkan celana supernya hingga ke pahanya. Aku memang semakin putus asa saat kurasakan Tarjo berhasil menarik melepasi celana dalamku kemudian menguakkan selangkanganku dan menenggelamkan wajahnya ke kemaluanku. Dia merangsek menciumi dan menyedoti nonokku. Aku tak dapat membayangkan lagi bagaimana perasaanku waktu itu. Kemaluanku yang berbulu tipis dengan bibir mekinya yang begitu ranum dilumat-lumatnya yang terkadang sambil melepaskan gigitan-gigitan kecilnya.
Cukup puas menggarap kemaluanku kini wajah Tardjo merangkaki perutku. Dengan bibirnya yang terus menjilati dan menyedoti tangan-tangannya melepasi BH-ku dan membetot keluar putingku yang memang begitu menggunung dan dijamin menimbulkan nafsu birahi Tardjo yang makin kesetanan ini. Kemudian dari jilatan dan sedotan di perutku bibirnya bergerak cepat beralih mengenyoti dengan begitu ganas buah dadaku yang sudah keluar dari BH yang sudah berantakkan ikatannya.
Dan di bawah sana kurasakan benda keras yang aku dijaminkan adalah pelernya mulai didorong-dorongkannya ke lubang mekiku. Aku semakin benar-benar tak menonton jalan keluar lagi. Aku dilanda kecemasan dan ketakutan yang amat begitu. Aku menjadi lumpuh dengan penuh perih di hatiku. Aku terus menangis. Sopir gila ini benar-benar akan memperkosa aku. Edan. Gila. Benar-benar anjing kamu, Tarjo.
Tetapi Tardjo ternyata begitu professional untuk merubah penolakanku menjadi penantianku. Dengan bertumpu pada lumatan, isepan dan gigitan pada puting dan pentil-pentilku yang begitu intens, Tardjo mengembangkan variasi remasan dan rabaan pada bagian-bagian tubuhku yang paling sensitive. Terkadang jarinya seakan mencakar kasar untuk kemudian berubah mengelus lembut. Aku dipermainkan oleh gelombang sentuhan erotisnya. Aku tergiring untuk memasuki wilayah peka birahi yang demikian dahsyat. Aku tak habis pikir, terkadang aku dibuatnya menunggu, apa lagi dan yang mana yang akan dirambah rabaannya. Dan itu merupakan siksaan yang paling aku benci. Menunggu Tardjo, menunggu rabaannya, sementara lidah dan bibirnya terus menggelitik puting dan pentilku dengan disertai dengusan serta lenguhan nikmat yang begitu memuaskan iba birahi siapapun yang mendengarnya. Rasanya dalam waktu yang singkat kini beralih aku yang terlanda kehausan. Birahiku seakan tercambuk untuk mendera nafsu libidoku. Ayoo, Tardjoo, cepatt.. yang mana lagi.., ayoo, kurang ajar benar sih, kamu..
Aku ngap-ngapan mengejar nafasku karena perbuatan Tardjo ini. Kini situasinya jadi berbalik. Kini aku yang justru menginginkan Tardjo dalam arti sesungguhnya untuk memperkosa aku habis-habisan. Kini aku berubah menjadi hewan betina yang menunggu dilahap rakus jantannya.
Dan ketika akhirnya kurasakan ujung peler Tarjo mendesaki gerbang mekiku. Bibir mekiku kurasakan menebal dan menjadi begitu peka terhadap sentuhan. Aku begitu berharap peler Tardjo cepat menembusi nonokku. Aku goyangkan pantatku naik turun dan berputar cobek untuk menjemput dan menangkap batangan peler Tardjo. Aku sudah demikian kegilaan menunggunya. Oohh.., Mas Dibyoo, ampunkan aku, ini bukan salahku, mass.. Kenapa kamu tak pulang mengantar aku dulu kemudian kembali dengan urusan pekerjaanmu, demikian aku menangisi nasibku. Dan Tarjo mulai dan terus mengocok-ocokkan pelernya secara intensif ke liang kemaluanku.
Dan saat akhirnya mekiku menelan seluruh batangan peler itu, wwuuhh.. Aku dilanda gelinjang nikmat yang begitu dahsyat. Kini aku mendesah dengan hebatnya. Dan lebih konyol lagi, kegatalan pada nonokku terus memaksa pantatku bergoyang naik turun untuk menjemput peler Tarjo agar menembusi lebih dalam lagi, dan bergoyang seperti “ngebor”, memutar pantat ke kanan dan ke kiri agar memekku dapat melumat batang peler untuk menggaruk dinding mekiku yang tak mampu aku tahan lagi rasa gatalnya. Dan inilah yang diharapkan Tarjo sebagai tanda telah mampu menundukkan aku. Oocchh, ampuni aku Mas Dibyoo..
Kini Tarjo merasa tak perlu terlampau ketat menahan meringkus aku. Bahkan dengan penuh keyakinan sumpal di mulutku dilepasnya. Tarjo tahu aku telah berada di wilayah kenikmatan birahiku dan tak akan mungkin berteriak-teriak yang membuat kehilangan kenikmatan itu. Kontolnya mulai dipompakan secara teratur dan cepat menembusi nonokku. Dan cairan birahiku tak lagi dapat menyembunyikan hadirnya nafsu birahiku itu.
“Bu, enhak sekali ya, Bu .., Bu enhaakk, yaa..”, racau Tardjo sambil menahan birahinya yang sudah demikian tak terkendali. Tetapi ucapan Tarjo itu sama sekali tak salah. Aku memang merasakan nikmat dan nikmatnya pemerkosaan ini. Bahkan kini aku benar-benar menggoyang-goyangkan pantatku karena kenikmatan yang menimpa diriku. Dan racauan mulutku mengalir menyahuti menyemangati racauan Tarjo,
“Teruzzss Mas Tarjo.., terusszz.., enhhaakk.., terusszzhh..”.
Semua menjadi serba cepat. Genjotan peler Tarjo yang semakin kuat ngentot kemaluanku membuat puting-susuku tergoncang-goncang seperti terlanda gempa bumi. Aku merasa kehausan yang amat begitu. Aku minta Tarjo menciumi bibirku. Kami saling melumat dengan ganas yang disebabkan gelombang dahsyat yang menerpa birahi kami. Dan kini aku merasa seluruh urat dan otot-otot tubuhku meregang. Aku merasa ada desakkan kuat yang harus meledak keluar dari dalam tubuhku. Dan kemudian aku merasakan aliran stroom jutaan watt hadir mengawali muncratnya cairan birahiku dari dalam kemaluanku. Aku merasakan kenikmatan yang dahsyat saat orgasmeku datang. Mataku membeliak-beliak menahan dera nikmat. Aku gigit pundak Tarjo hingga terluka.
Aku belum pernah mendapatkan pengalaman nikmat macam ini selama perkawinanku dengan Mas Dibyo. Aku menjadi buas dan kehilangan perasaan malu. Aku meracau dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang begitu seronok dan kotor yang seharusnya tak keluar dari mulutku. Aku terdorong oleh nafsu birahiku yang menggelegak hebat mengucapkan nikmat luar biasa sambil merintih. Dan berbareng dengan itu, Tarjo yang seperti orang gila semakin keras dan cepatnya memompa nonokku hingga kudengar suara bijih pelirnya yang memukul-mukul bawah nonokku. Tarjo menyusul menyemprotkan air maninya yang begitu menggairahkan ke dalam memekku. Aku tak dapat bayangkan lagi betapa kuyupnya lubang kemaluanku. Air mani dan cairan birahiku membusa meleleh keluar menyertai keluar masuknya pompaan peler Tarjo. Dan akhirnya semua berhenti.
Sepertinya Tarjo lunglai menindih tubuhku dengan keringatnya yang mengalir deras dari tubuhnya, tetapi wajahnya yang juga basah yang nyungsep di belahan dadaku bibirnya masih pelan mengenyoti putingku dan pelernya yang terendam basah masih kurasakan tegang kaku dalam rongga kemaluanku. Walaupun terus terang aku mendapatkan kenikmatan sexual yang hebat dari paksaan Tardjo tapi demi gengsiku kutolak tubuh Tardjo dari tubuhku, aku ingin dia cepat menyingkir dari aku. Tetapi apa kata dia,
“Bu Dibyo, kemaluan ibu seperti kemaluan perawan, begitu sempit dan begitu nikmat. Kontolku belum puas, Bu. Aku mau lagi. Aku mau ibu melayani aku lebih baik lagi. Aku pengin ngentot ibu lagi. Aku mau ibu menjilati pelerku sebelum kumasukkan ke nonok ibu lagi”.
Edan kau Tardjoo.. Omonganmu sama sekali menghinaku. Kamu anggap apa aku ini? Memangnya aku tempat pelampiasan nafsu binatangmu? Memangnya aku budakmu? Pergi kau Tardjoo.. Pergi..!!, demikian aku berteriak padanya.
Terus terang aku berteriak bukan benar-benar menyuarakan hatiku. Aku cuma berteriak demi gengsiku. Aku akan menangis penuh penyesalan seandainya Tardjo lantas dengan kecut meninggalkan aku. Terus terang kata-kata jorok brutal Tardjo tadi tiba-tiba menjadi sensasi birahi yang menggelegak menghantam sanubari libidoku. Aku merasakan birahi nikmat mendengar kata peler belum puas, ngentot nonokku, menjilati pelernya, ah, merinding dan bergetar merasakan betapa kata-kata itu menjadi demikian memuaskan nafsu birahiku. Aku ingin mendengarnya lagi, aku ingin Tardjo mengucapkannya lagi untukku. Aku ingin ada kata-kata yang lebih kotor lagi. Aku ingin Tardjo mengucapkan keinginan kotornya padaku lagi.
Tetapi ternyata dia tak bicara lagi. Dia bertindak. Dia mencabut dari memekku pelernya yang masih kuyup oleh lendir spermanya yang tercampur dengan cairan birahiku. Dia merangkaki tubuhku. Dia melangkahi putingku untuk mendekatkan pelernya ke wajahku. Untuk menjejalkan ke mulutku. Sungguh mati aku begitu jijik menghadapi ini. Mulutku belum pernah mencium apalagi mengulum peler. Aku begitu jijik karena memang belum pernah aku melakukannya walaupun suamiku sering minta agar aku melakukannya. Walaupun kedua tanganku masih tetap terikat, aku mati-matian menggeliat-geliat untuk berusaha menolaknya. Aku pandang cuma binatang saja yang melakukan cara macam ini. Tetapi Tardjo yang menjadi demikian terbakar nafsunya menonton geliatan tubuhku tak memintaku. Dia memaksa aku. Dia telah berhasil memperkosa kemaluanku, dan kini dia akan memaksa mulutku untuk menerima pelernya.
Dan Tardjo memiliki banyak cara. Dia memencet hidungku hingga aku kesulitan mengambil nafas sampai mulutku terpaksa terbuka untuk bernafas. Pada saat itu pelernya langsung disodokkan dan dijejalkan ke mulutku. Reaksi pertamaku adalah gelagapan dan rasa muak yang tak terhingga. Aku mau muntah. Tetapi keinginan itu seketika lenyap ketika Tardjo dengan tiba-tiba dan begitu kurang ajar meraih kepalaku, menjambak rambutku dan kemudian berkali-kali menampari pipiku. Kali ini aku sungguh-sunguh merasa direndahkan harga diriku. Seorang sopir macam Tardjo beraninya menampar istri bossnya.
Tetapi Tardjo sudah kerasukan setan. Dan yang hadir pada diriku kini bukan lagi gengsi tetapi ketakutan yang amat begitu pada orang yang kerasukan setan. Aku jadi terpaksa membiarkan pelernya yang disodok-sodokkan ke mulutku. Aku pasif, tak menggerakkan mulutku sama sekali, tetapi Tardjo kembali menamparku,
“Ayo, Bu, isep-isep peler nikmat, Bu, kulum, ayo, nikmat ini bu..”, antara ketakutan dan merinding birahi yang begitu, aku diserang gemetar hebat. Dan diluar kesadaranku akhirnya aku mengulum pelernya. Aku menggerakkan bibirku. Aku menjilatinya. Rasa asin yang menyergap lidahku membuat aku terkaget. Tetapi Tardjo sama sekali tak memberikan aku ruang untuk menolak. Kontolnya sedikit demi sedikt dijebloskan ke mulutku hingga menyentuh tenggorokanku. Kemudian ditariknya sedikit untuk kembali dijebloskannya lagi, demikian di ulang-ulanginya hingga aku jadi ber-adaptasi. Aroma sekitar selangkangannya yang semula begitu membuat aku mual kini tak terasa lagi. Rasa jijikku menyurut.
Paksaan yang tak dapat kutolak menggiring aku untuk kompromi. Aku menerima dengan setengah perasaanku, sementara aku mencoba meraba dimana kenikmatannya. Sampai-sampai orang-orang suka membicarakan hal macam begini, bagaimana rasa nikmat melakukan oral sexual dengan mengkulum dan mejilati peler prianya. Dan saat tangan Tardjo juga meremasi buah dadaku dan memainkan pentilku aku tak dapat mengelak, nikmat birahi melumati peler pria segera merambati aku pelan, pelan, pelan dan kemudian menerkam diriku dengan hebatnya. Situasi serasa berbalik 180 derajat, akulah kini yang mengerang dan mendesah sambil dengan penuh penghayatan dan nafsu birahi aku memperdalam dan memompa pelernya dengan seluruh haribaan mulutku. Tardjo tahu aku sudah dapat dia taklukkan. Dan aku merasakan gelinjang nikmat bagaimana sebagai perempuan terhormat ditaklukkan oleh peler supirnya.
Aku merasakan sensasi sexual sebagai budak nafsu supir boss suamiku. Kini aku menjadi pihak yang banyak menuntut. Aku ingin Tardjo menumpahkan seluruh nafsunya ke tubuhku. Setiap tindakan kasarnya menambah nikmat birahiku. Keinginan untuk menyerah sebagai budak taklukannya merupakan ungkapan yang begitu sensasional untuk nafsu birahiku. Aku ingin direndahkan. Aku ingin dihina. Aku ingin dijajah oleh Tardjo. Aku bahkan ingin disakitinya. Untuk itu aku berontak habis-habisan hingga pelernya lepas dari mulutku. Aku tendang sebisaku apa yang aku dapat tendang. Aku cakari tubuhnya. Aku maki dia dengan kasar,
“Anjing kamu Tardjo, babi, setan!”, dan rupanya perlawananku langsung memancing kemarahannya. Aku ditamparinya hingga bibirku pecah dan berdarah. Dia memaki aku,
“Dasar lonthe kamu, cabo murahan, pemakan tai!”, katanya dengan kasar sambil meraih mukaku dengan kedua tangannya.
Dipegangnya mulutku pada rahang bawah dan atasnya. Dipaksakannya aku membuka mulutnya. Kemudian di ludahi mulutku. Dia ludahi lagi. Dia ludahi terus mulutku. Dia gumpalkan air liurnya ke bibirnya kemudian diludahkannya kemulutku. Dan setiap kali dia membuang ludahnya ke mulutku, setiap kali pula dia pencet hidungku hingga aku gelagapan dan terpaksa aku menelan ludahnya. Tiba-tiba merinding dingin dan gemetar seluruh tubuhku, seakan badai kutub utara menyergap aku. Seluruh saraf-saraf dan ototku mengejang. Aku merasa kegatalan birahi yang begitu pada kemaluanku dan membuat rasa ingin kencingku meledak-ledak. Aku tahu perlakuan kasar Tardjo telah memancing nafsu birahiku dengan dahsyat. Dan kini aku akan kedatangan nikmat orgasme yang tak kuduga-duga akan secepat ini sebelumnya.
Aku sudah tenggelam dalam badai birahi yang tak lagi terkendali. Ludah Tardjo telah mendongkrak libidoku dan mendorongku untuk kembali mencengkeram dan memepet-pepetkan selangkanganku ke tubuh Tardjo sebagai ungkapan kegatalan nonokku sambil aku merintih dengan histeris dan setengah teriak,
“Tardjo, masukin pelermu, Djo, entot aku lagi, Djo, tolong, entot aku lagi”, dijamin saja dia heran akan sikapku yang berbalik 180 derajat.
Dan langsung Tardjo menyambut gembira histerisku itu. Tetapi dia tak langsung menjawab permintaanku. Dia melepaskan terlebih dahulu tanganku dari ikatannya. Dia termuat begitu yakin bahwa aku telah benar-benar dia kalahkan. Dia ingin merasakan bagaimana aku akan sepenuhnya mengekspresikan kenikmatan yang dia berikan. Dia ingin aku menggunakan tangan-tanganku untuk memelukinya dikarenakan birahi yang membakar diriku.
Dengan penuh keyakinan dia kangkangkan selangkanganku. Dia arahkan pelernya ke nonokku yang dengan serta-merta pantatku naik tinggi-tinggi menjemputnya. Kontol itu langsung.. bleezzhh.. menghunjam dan ditelan memekku bulat-bulat. Dengan tanganku yang terbabas aku memeluki tubuh keringat Tardjo dengan sepenuh puas hatiku. Dengan cepat pantatku goyang memutar dan memompa naik turun.
Saat orgasmeku benar-benar berada di depan gerbang puncak nikmat, aku berbalik dengan cepat ganti menindih tubuh Tardjo. Doronganku adalah menghunjamkan pelernya untuk lebih dalam meruyak menusukki nonokku. Dan saat itulah, cakar-cakarku melukai bahu Tardjo dengan disertai teriakkan seperti anjing betina yang melonglong keenakkan diperkosa jantannya, orgasmeku akhirnya muncrat, tumpah ruah membuat nonokku menjadi banjir dan kuyup. Dengan cepat kuterkam mulutnya dengan mulutku, kuhisap-isap lidah dan ludahnya untuk menghapus dahaga birahiku dan menuntaskan puncratan cairan birahiku. Kuhisap terus, kuhisap terus, kuhisap terus hingga akhirnya aku tergeletak lemas ke kasur pengantinku. Sepintas aku lihat Tarjo bangkit dan meloco pelernya. Dia mengeluarkan spermanya beberapa saat kemudian disertai dengan teriakkan lepas birahinya dengan sekeras-kerasnya. Dia puncratkan sperma hangatnya ke tubuhku, ke dadaku, ke mukaku, ke rambutku. Sesudah ber-galon-galon spermanya tersedot keluar, Tardjo jatuh lemas ke kasur di sebelahku. Aku terlena.
Entah berapa lama aku tertidur kecapaian hingga terbangun saat kulihat Tardjo bergerak bangun. Mataku yang kini selalu terpaku pada pelernya menonton betapa peler jumbo itu belum termuat surut juga dari tegang kakunya. Kontol itu masih termuat ber-ayun-ayun setiap kali pemiliknya bergerak ke-sana-kesini. Kulihat dia bergerak turun.
Dia balikkan tubuhku kemudian dia tarik kakiku hingga tungkai kakiku terjuntai ke lantai. Dia rabai lubang pantatku. Kemudian aku rasakan dia membenamkan wajahnya di sana untuk menciumi dan menjilati lubang analku. Rasa gatal yang begitu dengan cepat kembali menggelitik nafsu birahiku. Suamiku tak pernah menjilati pantatku, apalagi lubangnya sebagaimana yang dilakukan Tardjo kini. Aku tak berfikir lagi untuk menolaknya, rasanya Tardjo sudah menaklukkan aku secara total, aku pasrah apa maunya saja. Saat dia menjilati dan menusukkan lidahnya ke lubang anusku aku langsung menggelinjang. Tanganku bergerak kebelakang meraih kepalanya, aku ingin Tardjo lebih tenggelam lagi menjilat pantatku. Tetapi Tardjo bergerak bangkit sambil beberapa kali meludahi lubang anusku. Dia tusukkan jar-jarinya ke lubang itu. Aku kelonjotan dan mengaduh. Dia tak ambil pusing.
Dan ketika pelernya dia asongkan ke analku, aku baru tahu, rupanya Tardjo ingin melakukan sodomi padaku. Aku rasanya tak mampu berkutik. Aku menjadi tawanan yang sudah lunglai kehabisan tenaga untuk melawan musuhku. Dan saat rasa perih yang langsung menerpa pantaku karena peler Tardjo memaksakan untuk menembusinya, aku tak menahan diri lagi untuk berteriak sekeras-kerasnya. Aku benar-benar tak tahan menerima tusukkan pelernya di pantatku. Aku belum pernah merasakan sodomi, bahkan berpikir saja tak pernah.
Rasa menggairahkan dan pedih pada bibir dan dinding anusku tak tertahankan lagi. Aku berusaha berontak menghindar, tetapi justru membuat aku semakin terkunci oleh jepitan tubuhnya yang sambil terus menggerakkan pantatnya merangsek dan mendorong serta menarik pelernya memompa anusku. Kini aku benar-benar diperlakukan seperti anjing betina, Dengan setengah tengkurap di tepian ranjang dan kaki terjuntai ke tanah, aku dipaksa menerima peralakuan sodomi pada pantatku. Aku terguncang-guncang oleh sodokkan ritmisnya. Anusku terasa begitu menggairahkan seperti kecabean dan pedihnya luar biasa. Kembali aku menangis. Aku melolong karena rasa perih yang amat begitu.
Tardjo menikmati banget apa yang dia dapat raih dari tubuhku. Dengan terus menyodomi analku dia memelukku dari belakang, menciumi kudukku habis-habisan sambil tangannya merangkul tubuhku dan meremasi putingku. Kudengar nafasnya yang mengendus dengan buas menyertai nafsu birahinya yang benar-benar telah menjadi binatang liar yang tak terkendali lagi.
Saat akhirnya peler itu terus mempercepat pompaannya, aku tahu bahwa Tradjo telah mendekati puncak birahinya. Untuk yang kesekian kali dia akan menyemprotkan air maninya ke dalam tubuhku. Di antara menggairahkan dan pedih yang merobek-robek lubang pantatku aku terguncang-guncang di atas ranjang pengantinku sambil meraung kelonjotan. Aku merasakan betapa sodomi ini begitu menyiksaku. Kepalaku langsung pening, mataku terasa menggelap ber-kunang-kunang. Kuremasi pinggiran kasurku dalam upaya menahan kepedihan itu. Yang aku pikirkan cumalah kapan siksaan ini berhenti dan selesai. Aku nyaris kehilangan kesadaranku saat Tardjo kembali menyemprotkan lahar menggairahkannya di lubang analku. Lendirnya melicinkan bibir dan dindingnya hingga rasa perih ini sedikit berkurang. Tardjo kembali berteriak histeris, melolong bak anjing jantan yang telah memuasi betinanya. Kemudian kembali dia lemas dan rebah penuh keringat menindihi punggungku. Aku lemas sekali. Aku berharap Tardjo sudah lemas dan puas pula hingga tak lagi memaksa aku untuk menampung kebrutalannya lagi. Aku harap selekasnya Tardjo meninggalkan aku. Aku sudah tak mampu lagi melayaninya. Percuma. Aku tak akan mampu lagi menikmatinya. Dan harapanku benar terpenuhi.
Tetapi caranya sungguh menunjukkan kekurang-ajarannya. Tanpa memperhatikan keadaanku, tanpa ada omongan “ba bi Bu” nikmat saja Tarjo turun dari ranjangku. Dengan tanpa mencuci apa-apa pada tubuhnya, ditariknya kembali celana supernya yang tetap nyangkut di pahanya dan menutup resluitingnya serta mengikat kembali ikat pinggangnya. Dan kemudian dengan se-enaknya dia ngeloyor pergi,
“Terima kasih, Bu. Maafin saya, ya, Bu”, demikian kering kata-katanya, seolah apa yang telah terjadi bukan hal yang luar biasa. Kemudian dengan sama sekali tak menunggu reaksiku dengan cepat dia meninggalkan aku yang masih tergolek telanjang di tempat tidurku.
Sesudah lebih dari 1 jam dia melampiaskan nafsu hewaniahnya untuk mendapatkan kepuasan birahinya dengan cara memaksa menggauli aku, dengan menembusi nonokku, mulutku dan yang terakhir lubang duburku tanpa khawatir akan suamiku yang dapat kapan saja termuat pulang tiba-tiba, kini sepertinya pahlawan yang meninggalkan musuhnya yang sedang sekarat dia pergi begitu saja tanpa tanda-tanda dan jejak yang dapat dijadikan alibi kecuali hatiku yang terluka dan bimbang.
Aku bimbang, benarkah Tardjo telah memperkosa aku? Dengan kenikmatan yang begitu luar biasa yang kudapatkan dari pemerkosaku aku menerima perbuatan Tardjo sebagai sesuatu yang tak akan pernah kusesali seumur hidupku. Masih pantaskah aku disebut istri yang setia bagi Mas Dibyo? Ah, pria dimana-mana sama saja, membingungkan. Dasar bajingan kamu, Jo.
Peristiwa Ketiga,
ANAK KOST
Terlampau sering kita dengar cerita anak kost yang memperkosa ibu kostnya. Tetapi yang aku alami di bawah ini merupakan peristiwa pemerkosaan yang aku anggap kebangetan.
Sesudah anak-anakku pada menikah, rumahku menjadi longgar dan terasa sepi. Suamiku mengusulkan untuk menerima kost-kost-an untuk anak sekolah bisa pula mahasiwa. Maksudnya agar suasana ramai seperti ketika anak-anakku kumpul dapat kembali dinikmati. Ide itu timbul sehubungan adanya beberapa kali permintaan dari beberapa bispak dan mahasiswa yang bertandang ke rumah. Tetapi kini yang terjadi justru bencana yang mengancam ketenangan dan kenyamanan dalam rumah tanggaku.
Ronny, salah seorang anak kostku suatu pagi tak keluar dari kamarnya untuk sarapan dengan anak-anak yang lain. Kuketuk pintunya untuk menonton ada apa dengan Ronny ini. Kulihat dia masih meringkuk di tempat tidurnya. Saat ku pegang dahinya aku tahu dia kena demam. Kemudian kubawakan minuman menggairahkan, sepotong roti dan obat anti demam. Kusuruh minum obat itu.
Setelah rumah kembali sepi karena anak-anak pada berangkat sekolah dan kuliah, aku kembali menengok dia. Nampaknya obat demamnya sudah berproses. Panas tubuh Ronny sudah agak turun. Tetapi Ronny bilang perihnya belum akan sembuh sebelum tubuhnya dikerok sebagaimana kebiasaannya kalau perih di rumahnya. Aku bilang, nantilah kalau bapak sudah jalan mengajar ke sekolah, aku kerokin kamu. Suamiku walaupun sudah pensiun tetapi masih banyak kegiatan selaku pengajar honorer di beberapa sekolah.
Ronny baru 3 bulan ikut kost di rumah. Dia anak dari Wonosobo. Ini merupakan tahun semester pertama dia di universitas swasta yang pastinya terkenal di Jakarta. Sebagai anak pria yang umurnya yang baru 20 tahun Ronny termuatnya dia begitu dimanjakan di rumahnya. Kadang-kadang disinipun kalau dia pengin sesuatu, masakan misalnya, aku harus turuti, kalau tak dia akan ngomel seharian. Dia bilang pelitlah, malaslah, judeslah dan sebagainya. Aku sabar saja. Aku jadi ingat ada anakku yang manja, kalau minta sesuatu harus kami dapat penuhi.
Kembali Ronny memanggil-manggil aku, sementara suamiku belum juga jalan menunggu telpon dari sekolahan tempat kerjanya untuk informasi mengenai jam berapa dia harus hadir mengajar hari ini. Kudatangi Ronny yang ngotot minta dikerok sekarang juga. Aku kasihan, mungkin badannya benar-benar berasa tak nikmat. Aku mengambil minyak goreng dan koin uang untuk kerokan dan bilang sama suamiku yang sedang baca koran persis di sebelah dinding kamar Ronny. Saat aku masuk ke kamar, Ronny sudah tengkurap setengah telanjang cuma bercelana dalam. Ah, aku yang sudah usia 47 tahun ini tak berpikir macam-macam. Aku duduk di tepian ranjang, mulai mengerok punggung Ronny.
Kuperhatikan tubuh Ronny sungguh sehat. Pasti makanannya begitu terjaga sejak kecilnya. Posturnya yang pastinya jangkung, aku taksir mendekati 180 cm termuat Ronny begitu tampan. Dan itu dibuktikan seringnya dia didatangi bisa pula ditelpon temen-ceweknya yang tak terhitung jumlahnya. Kulihat kerokkan ditubuhnya menunjukkan garis-garis merah yang kuat sebagai pertanda dia masuk angin beneran.
Tiba-tiba tangan kirinya dia taruh ke pahaku. Aku pikir dia rindu jandanya. Tetapi saat aku tak menunjukkan reaksi tangan Ronny mulai mengelusi pahaku kemudian menaikkan elusannya ke perutku kemudian ke dadaku. Aku tepis kuat-kuat. Aku bisikkan agar jangan tak sopan padaku. Dia langsung berbalik telentang. Dia tunjukkan celana dalamnya yang telah terdorong mencuat karena pelernya yang ngaceng berat sambil telunjuknya menunjuk bibirnya agar aku diam. Kemudian dia perosotkan celananya hingga pelernya yang pastinya jumbo dan ujung kepalanya yang merah berkilatan itu termuat tegak kaku mencuat dari rimbunan bulunya yang masih halus tipis. Aku kaget banget dengan ulah Ronny ini. Yang aku takutkan kalau-kalau suamiku mendengar, masuk ke kamar dan menonton apa yang terjadi di kamar sempit ini. Bisa-bisa aku dianggap serong sementara suamiku masih berada di rumah. Aku berontak untuk berdiri dan meninggalkan kamar. Tetapi Ronny lebih sigap dan kuat. Direnggutnya rambutku dengan kasar hingga aku nyaris terjatuh. Kemudian dengan paksa mukaku ditundukkan ke arah selangkangannya. Dia arahkan pelernya ke mulutku. Dia maksudkan agar aku mengulumnya. Kurang ajar dan kebangetan banget, nih anak. Tahu bahwa ada suamiku di sebelah dinding kamarnya dia berani mencoba melakukan macam ini padaku. Dia memperkosa aku, memperkosa mulutku.
Aku berontak keras tetapi dengan sepi. Aku tak berani mengeluarkan suara sedikitpun. Dan Ronny termuatnya begitu tahu ketakutanku itu. Tangannya semakin kuat-kuat menekan kepalaku dan menempelkan bibirku ke ujung pelernya. Aku tak kuat melawan Ronny. Kontol itu terus dia tekan-tekankan ke bibirku hingga aku merasa kelonjotan karena beradu dengan gigiku. Dan persis saat aku sedikit menyeringai membuka mulut peler Ronny berhasil masuk ke rongga mulutku. Tekanan tangannya yang begitu kuat tak memberikan kesempatan sedikitpun kepadaku untuk bergerak-gerak. Tanganku yang bertumpu menekan ke pinggiran ranjangpun sia-sia. Ronny membiarkan sesaat posisi statis itu dengan diam tetapi tekanan kuat tangannya tak mengendor. Aku jadi sempat berpikir, mau apa aku. Dan jawaban dalam hatiku adalah, biarlah aku mengulumnya walaupun hal itu belum pernah aku lakukan pada suamiku sendiri selama ini. Pertama karena aku ingin hal ini cepat selesai sebelum suamiku menaruh kecurigaan. Kedua terbersit juga dalam hatiku, apa salahnya kalau dalam keadaan terpaksa ini aku coba saja apa yang pernah aku saksikan dalam VCD berahi yang pernah aku tonton sebelumnya. Aku mencoba menjadi lebih menerima kenyataan yang tak dapat kuhindari ini. Aku mulai melumat peler Ronny. Lidahku menari. Aroma selangkangan Ronny mulai merasuk ke hidungku tanpa aku dapat menghindarinya. Sekarang yang kupikirkan cumalah pemaksaan Ronny ini cepat selesai.
Begitu aku mulai mengulum, tekanan tangan Ronny mengendor. Bahkan dia mulai mengelus-elus rambutku dengan penuh penuh kenikmatan. Dan entah dorongan dari mana, mungkin pengaruh VCD itu, aku sendiri pelan-pelan dilanda rasa nikmat birahi. Aku merasakan ada sensasi nafsu yang mendorong aku untuk mencoba menikmati bagaimana bersentuhan secara birahi dengan pria lain kecuali suamiku, bahkan melakukan sesuatu yang belum pernah aku aku lakukan, aku tengah mengulum, mengisep-isep dan menjilati pelernya itu. Dan saat Rony tahu aku termuat mulai menikmati paksaannya tangannya mulai kelayaban ke bokongku, dia singkapkan dasterku, dielus-elusnya pantatku bahkan juga lubang duburku. Ditusuk-tusukkannya jarinya ke lubangku itu. Aku agak merasa aneh. Terus terang cuma di VCD-lah aku lihat ada orang yang begitu menyukai lubang tai ini. Apakah Ronny juga termasuk yang suka?
Diludahinya jarinya untuk kemudian dia coba lagi menusuk lubang pantatku. Aku menyeringai kelonjotan, perih banget rasanya, tetapi mana berani aku teriak sementara suamiku berada tepat di belakang dinding kamar ini sedang membaca koran. Yang aku coba adalah menepis tangan Ronny sambil menyeringai sepi padanya yang menunjukkan aku kelonjotan. Tapi Ronny tak lantas berhenti, dia colek minyak goreng bekas kerokannya, jari-jarinya dilumuri minyak goreng itu kemudian kembali disodok-sodokkannya ke lubang pantatku.
Dan aku sendiri jadi heran, walaupun terasa pedih dan perih aku mulai merasakan kenikmatannya. Aku heran juga kenapa lubang pantat juga merasakan nikmat birahi macam lubang kemaluan. Aku heran banget. Bahkan aku menyambut jari-jarinya itu dengan memaju-mundurkan tubuhku menjemputi jari-jari Ronny menusuki pantatku itu. Aku mengerang tertahan. Aku menikmati banget nafsu birahiku ditengah rasa pedih dan menggairahkan yang hampir tak tertahankan. Aku jadi terbakar dilanda birahi yang luar biasa.
Terus terang, sudah lebih dari 2 tahun terakhir ini suamiku sudah jarang menggauli aku. Dan aku sendiri sebanarnya juga tak lagi menuntut terlampau banyak dari dia. Kami merasakan usia kami sudah termasuk tua. Dan rasanya tak lagi pantas terlampau memikirkan terus-menerus kebutuhan sexual. Tapi kini, ternyata seorang anak kostku si Ronny ini telah membangunkan macan tidurku. Rasanya aku kembali menjadi perempuan yang demikian kegatalan. Aku menggelinjang hebat saat ini, saat mulutku dipaksa terjejali oleh pelernya dan lubang pantatku diperkosa oleh jari-jarinya.
Tangan kiri Ronny di kepalaku semakin termuat tak sabar. Dia menggenggam rambutku dan dinaik-turunkan kepalaku agar aku mengkulum dan memompa lebih cepat. Rasanya Ronny ingin lekas memuncratkan spermanya. Aku turuti kemauannya dari pada aku jadi kelonjotan nanti. Tangan kananku mengelusi batangnya dan mulutku mempercepat lumatan dan pompaan ke peler Ronny hingga akhirnya tanganku merasakan ada kedutan jumbo pada otot sebelah bawah batang pelernya disusul oleh tumpahnya cairan hangat menggairahkan tumpah menyemprot-nyemprot rongga mulutku. Air mani Ronny muncrat banyak sekali, sepertinya bergalon-galon. Dan pada saat yang denganan sementara tangan kanannya terus menusuki lubang pantatku, tangan kiri Ronny kembali menekan kepalaku lebih dalam agar mulutku menangkap seluruh cairan spermanya yang tumpah itu. Aku nyaris tersedak. Dan untuk menghindarkannya agar tak berkepanjangan buru-buru sebagian cairannya kutelan.
Akhirnya tangan Ronny melepaskan cengkeramannya ke rambutku dan aku sendiri jadinya terduduk di lantai samping ranjang itu. Tak ada suara gaduh sedikitpun selama 15 menit Ronny memperkosa mulutku. Kami sama-sama menjaga agar tak menimbulkan kecurigaan suamiku yang sedang asyik membaca koran pagi itu.
Ketika akhirnya aku bangkit berdiri, Ronny membisikkan terima kasih ketelingaku. Aku tak menjawab. Aku tetap menunjukkan kekecewaanku atas perbuatannya yang memaksa mulutku ngisep pelernya. Ketika aku mau keluar pintu aku memperdengarkan suaraku agar didengar suamiku,
“Udah Ron, kamu mesti istirahat. Tuh, badanmu merah semua oleh kerokan ibu. Pakai selimutnya. Kalau mau mandi nanti aku siapkan air menggairahkan”.
Ketika akhirnya aku keluar kamar kulihat suamiku sedang asyik mengisi teka-teki silang (TTS). Dengan kacamata minusnya dia mendekatkan matanya ke tulisan kecil-kecil koran di tangannya. Kemudian dengan berlandaskan pada lantai meja dia menulis jawaban TTS pada kotak-kotak yang tersedia. Dia tak memperhatikan bagaimana aku berjalan dengan sedikit tertatih karena pedih di pantatku. Dia juga tak menatap wajahku, bagaimana masih termuat serpihan kental hampir mongering sperma Ronny membelepot di sana-sini di sekitar bibirku.
Peristiwa Keempat,
DI BAWAH SELIMUT KERETA MALAM ARGO LAWU
Ini memang bukan masalah sepele, bukan sekedar masalah tangan, bukan sekedar soal keusilan seseorang. Aku merasa ini sudah menyentuh masalah prinsip sebuah kesetiaan. Kesetiaan seorang istri yang telah 20 tahun lebih mampu menahan segala terpaan goda nafsu birahinya.
Setiap 2 bisa pula 3 bulan sekali aku dengan suamiku, Mas Rudy, pergi ke Solo menengok anakku yang kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS). Tetapi keberangkatanku sekarang ini terpaksa aku lakukan sendiri karena Mas Rudy kebetulan ada urusan pekerjaannya yang tak dapat ditinggalkan. Dia berjanji akan menyusul dan menjemput aku saat kepulangannya nanti. Mas Rudy cuma dapat mengantarkan sampai aku duduk nyaman di kursiku di kereta api Argo Lawu yang akan meninggalkan stasiun Gambir menuju Solo jam 7.30 malam. Kalau tak ada kelambatan kereta Argo Lawu ini akan memasuki stasiun Balapan Solo sekitar jam 5 pagi. Anakku Suryo sudah akan menunggunya di sana.
Aku dapat tempat duduk dengan nomor 14 C di larik sebelah kanan gerbong. Kursi sehabisku yang berada ditepi jendela termuatnya sudah ada yang menempati, orangnya tak kelihatan tetapi dari barang bawaannya dan jaket yang ditaruh dikursinya aku perkirakan dia adalah orang pria. Beberapa detik sebelum keberangkatan Mas Rudy turun dengan sebelumnya mencium pipiku sebagaimana kebiasaan kami apabila ada anggota keluarga datang bisa pula pergi melakukan perjalanan.
Sesaat kereta bergerak meninggalkan Gambir seorang pria muda pemilik kursi sehabisku baru termuat. Dengan penuh santun dan hormat dia mengucapkan selamat malam padaku dan bahkan menawari aku apabila aku menghendaki duduk di kursinya yang disebelah jendela. Aku ucapkan terima kasih, aku tak ingin pindah dari kursiku. Pertimbanganku karena aku ini mempunyai kebiasaan beser. Bisa dipastikan aku akan berbelas-kali mondar-mandir ke toilet untuk kencing. Dan itu akan membuat aku sungkan apabila setiap kali aku harus ngomong sama dia untuk ke toilet.
Pria ini berinisiatip untuk banyak ngomong dan mengajak aku berbicara. Dari pembicaraannya kelihatan bahwa dia adalah seorang terpelajar. Dia ke Solo dalam rangka tugas dari perusahaannya, dia akan tinggal selama 1 minggu di kota itu. Selama pembicaraan sepenuhnya dia menujukkan sikap hormat dan santunnya padaku. Aku juga menaruh respek padanya karena sikapnya itu. Dia pinjamkan majalah dan koran bacaannya padaku, dia juga tawarkan makanan bisa pula minuman saat pelayan restoran melewati bangku kami. Kecuali koran dan majalahnya yang lain aku menolak dengan halus. Aku terbiasa cuma minum air mineral saat bepergian begini. Dan untuk makan malam aku rencanakan nanti sekitar jam 10 malam baru aku mau pesan ke restoran. Aku sudah membayangkan steak Argo Lawu yang nikmat itu untuk makan malamku.
Sesungguhnya aku tak pernah membanding-bandingkan suamiku dengan pria lain, tetapi tak tahu kenapa kali ini tanpa dapat kuhindarkan aku melakukan itu, mungkin karena waktu yang waktu super perjalanan yang membuat aku sempat berpikir macam-macam. Aku perhatikan pria sehabisku ini tampan banget. Wajahnya mengingatkan aku pada bintang rekaman Onky Alexander yang main di rekaman Catatan si Boy itu. Bahkan terus terang sebagai penonton rekaman dan sinetron aku termasuk pengagum tampang Onky itu. Gayanya dalam rekaman yang acuh, santun dan jantan sering aku tempatkan dalam khayalan isengku saat membayangkan macam bagaimana pria idola itu. Walaupun semua itu sama sekali tak mempengaruhi sikap seriusku sebagai istri yang setia tanpa reserve yang telah lebih dari 20 tahun mendampingi Mas Rudy suamiku. Tetapi kali ini sepertinya pikiranku agak tak lempang, kenapa?
Dilain pihak pria ini, yang aku perkirakan usianya paling sekitar 30 tahunan bisa pula 8 tahun lebih muda dari aku, memperkenalkan namanya Rendy (ah, kenapa sama-sama menggunakan huruf “R” di depan, “d” di tengah dan “y” dibelakang sebagaimana nama Rudy suamiku). Kalau ngomong dia menatapku sedemikian rupa hingga aku sering merasa kikuk. Bahkan beberapa kali dia demikian mendekatkan wajahnya ke wajahku saat menyampaikan sesuatu, seakan untuk mengimbangi suara gemuruh kereta Argo Lawu yang lari kencang ini. Tetapi aku lebih mengartikan bahwa cara demikian itu sebagai tanda bahwa sebagai seorang pria dia tertarik padaku yang perempuan. Dia ingin dekat padaku dan aku dekat padanya. Mau akrab, gitu lah.
Sesungguhnya aku juga tak begitu heran dengan caranya itu. Banyak pria yang juga bersikap demikian padaku. Walaupun usiaku sudah menjelang 38 tahun tetapi penampilanku masih sering menggoda perhatian para pria. Dengan kulitku yang putih bersih dan tinggi badanku yang 172 cm dan berat 55 kg, banyak teman-teman di arisan kompleks rumahku mengatakan aku awet muda. Mereka juga bilang aku lucu, bahenol, sensual, ah, pokoknya macam-macam pujianlah. Dan kalau lagi kelakar di rumah, suamiku juga sering mengatakan bahwa kecantikanku tak surut oleh usiaku. Mas Rudy selalu bilang bahwa kecantikkanku tak berubah sejak ketemu 20 tahun yang lalu. Tentu saja aku mensyukuri semua itu. Dan secara fisik memang dengan sadar aku menjaga kesehatan, makanan dan olah raga secara ter-atur. Setidaknya sebulan 4 kali aku perlukan waktu untuk berenang, di mana saja. Aku juga selalu bangun pagi menyertai Mas Rudy untuk lari jogging setiap pagi.
Dalam soal busana aku senang dengan cara berpakaian yang santun. Aku tak pernah memakai blus yang memperlihatkan belahan dada, bisa pula celah ketiak bisa pula punggung terbuka. Semua busana pilihanku relatip serba tertutup. Dan aku bahkan begitu menyenangi pakaian Jawa yang kain dengan kebayanya, bisa pula baju muslim saat aku menghadiri undangan bisa pula pesta-pesta hajatan keluarga maupun teman. Aku juga menyenangi suguhan alami, cuma sedikit kosmetik. Aku termasuk orang yang mencintai dan yakin dengan “inner beauty”.
Gerbong eksekutip Argo Lawu ini dingin AC-nya terasa begitu menggigit. Selimut tebal Argo Lawu yang dibagikan dengan bantal tak banyak menolong aku. Aku begitu sensitip terhadap dingin macam begini. Kalau aku jalan sama suamiku dia sudah merangkulku memberikan kehangatan. Kini aku menggigil hingga kedengaran gigiku yang menggelutuk beradu. Rupanya Rendy langsung tahu apa yang terjadi pada diriku, dengan penuh spontan dia lepaskan jaketnya dan diserahkannya padaku. Semula aku menolaknya, tetapi dia sudah langsung menutupkan pada tubuhku sambil bilang bahwa dia tak begitu memerlukannya, dia bilang dingin macam ini nyaman untuk tubuhnya.
Begitu jaket itu menutupi tubuhku yang pertama aku rasakan adalah sedikit kehangatan dan aroma wewangian pria. Seperti wewangian yang terbuat dari rempah-rempah. Tentu saja ada semburat aroma ke-lelaki-an Rendy yang berebut menembus hidungku. Aku merasakan keadaan yang aneh, sepertinya ada pria lain yang bukan suamiku sedang memeluk aku. Sekali lagi aku mengkhawatirkan pikiranku yang tak lempang ini. Rasanya ada yang salah dengan keadaan diriku. Sepertinya sebuah kesetiaan sedang mendapat cobaan. Dan celakanya aku tak dapat memastikan, aku ini senang bisa pula prihatin dengan apa yang sedang berlangsung ini.
Aku begitu kaget ketika tiba-tiba tangannya menggenggam tanganku, hampir kutarik kalau dia tak bilang,
“Tangan Mbak dingin banget, nih. Mau tak kalau aku pijat refleksi tangannya, nanti hangat, deh?”, ah, dia mempunyai seribu satu alasan yang selalu tepat untuk banyak berbuat padaku. Aku juga tak tahu, kenapa aku pasrah saja saat tangannya meraih tanganku membawa ke pangkuannya untuk dia pijit-pijit. Dia bilang pijat refleksi. Aduh, aku berteriak tertahan karena kelonjotan, tetapi dengan cepat dia bilang dalam bisikkan, bahwa kalau aku merasakan perih artinya bahwa memang aku sedang perih. Dia terangkan bahwa yang dia pijat itu adalah tombol-tombol saraf yang berkaitan dengan bagian di tubuhku yang sedang kena perih. Dia bilang paru-paru dan punggungku sedang tak normal karena dingin bisa pula mungkin karena lelahnya perjalanan. Dan yang membuatku langsung merinding dan bergetar adalah suara bisikkannya itu. Dalam khayalku se-akan seorang pria bukan suamiku sedang membisikkan birahinya ke padaku. Aku menggelinjang kecil, perasaan serupa pernah aku rasakan sudah begitu lama, saat pertama kalinya pacar pertamaku barhasil membawaku ke ranjangnya. Tapi aku masih sepenuhnya sadar untuk jangan sampai segalanya berkembang terlalu jauh,
“Sudah, dik, sudah, terima kasih, aku tak tahan perihnya, nih”. Kutarik tanganku dan dia lepaskan. Untuk beberapa saat kami saling berdiam diri, walaupun sebentar-sebentar dia menengok ke arahku menunjukkan rasa khawatirnya.
Ternyata yang namanya godaan selalu ada saja. Alergi dinginku membuat aku terbatuk-batuk hingga tubuhku terbungkuk-bungkuk menahan gatalnya tenggorokkanku. Dan dia yang penuh perhatian padaku terasa begitu saja spontan saat memegang kudukku untuk meijat-mijatnya sambil,
“Mbak masuk angin, nih”. Aku memang termuat seperti nenek-nenek kronis. Batukku ini benar-benar membuat aku tak berkutik saat tangannya juga merangkul pundakku sambil terus memijat tengkukku. Ah, kenapa harus begini, sih. Apa yang akan terjadi selanjutnya ..? Kemudian dia lepaskan rangkulannya padaku dan berdiri,
“Sebentar, mbak, ya”, dia beranjak jalan, mungkin ingin ke toilet. Tetapi sehabis beberapa saat dia termuat lagi dengan segelas teh hangat di tangannya. Ah, orang ini selalu mengambil tindakan yang tepat pada waktu yang tepat. Teh hangat ini memang yang begitu aku butuhkan pada saat-saat seperti ini,
“Wah, dik, anda kok begitu repot, sih, terima kasih banget, ya. Maafkan, aku ini memang tak tahan dingin. Ya, begini jadinya, mudah-mudahan teh menggairahkan Dik Rendy akan mengurangi kedinginanku”, begitu jawabku saat dia menyodorkan teh menggairahkan itu padaku sambil aku memberikan jalan untuk dia duduk kembali ke kursinya. Dan begitu aku me”nyeruput”-nya memang aku langsung merasakan hangatnya teh menggairahkan itu mengalir di tenggorokanku dan batuk-batukku seketika jauh berkurang. Ah, nikmatnya. Untung ada Rendy yang penuh perhatian padaku. Ya, begitulah, aku jadi merasa berhutang budi pada dia karena teh menggairahkan ini.
Dan ketika sama-sama berada di bawah selimut Argo Lawu tangan Rendi kembali meraih tanganku seakan hendak memeriksa suhu tubuhku aku tak lagi merasa perlu menghindar. Tangan itu meremasi tanganku dan diluar kesadaranku, refleks tanganku membalas remasannya. Aku sendiri kaget dengan reaksi refleks tanganku itu, tetapi sudah terlambat untuk begitu saja menghentikannya. Apalagi termuatnya Rendy jadi demikian antusias dengan balasan remasan tanganku. Akhirnya aku, mau tak mau dan tak ada pilihan lain lagi, mencoba menikmati apa yang sedang berlangsung ini. Juga saat tangan lainnya kembali meraih pundakku dan menariknya agar bersandar ke pundaknya untuk mendapatkan kehangatan yang lebih aku benar-benar tak mampu menghindar lagi. Dan remasan Rendy aku rasakan semakin “intens” saat dia juga mengeluarkan bisikannya,
“Mbak, tangan Mbak lembut banget, ya. Halus sekali. Dan Mbak juga halus sekali. Mbak bahenol sekali”. Rupanya dia sudah tak dapat kuhentikan lagi. Rendy sudah memasuki tahap “batas tak wajar” yang serius, sementara aku merasa mulai memasuki tahap terjebak “batas tak wajar” yang sulit aku hindari. Toh, aku masih mencoba bertahan,
“Ingat Dik Rendy, aku sudah bersuami. Dan aku begitu mencintai suami dan anak-anakku tak kurang suatu apapun”,
“Saya tak akan mengganggu kebahagiaan mbak, kok. Saya cuma mengucapkan apa yang secara nyata aku hadapi terhadap mbak. Mbak sungguh bahenol sekali”, dia mencoba bertahan dengan diplomasi cinta gombalnya, sementara remasan tangannya terkadang berubah menjadi elusan di punggung dan telapak tanganku dan walaupun aku tak begitu menunjukkan semangat membalasnya aku tak pernah lagi berusaha menghindarinya, kecuali jantungku yang deg-deg-an semakin menahan gejolak “batas tak wajar” lembutku.
Jam menunjukkan pukul 3 dini hari, aku lihat sepintas tadi kereta malamku telah melintasi stasiun Kroya. Apabila tak ada hambatan kereta ini akan memasuki stasiun Balapan Solo pada jam 5.30 pagi. Rendy tertidur, tetapi aku tak yakin kalau dapat tidur beneran. Dia bergerak terus, termuatnya ada kegelisahan. Aku dijaminkan dia sedang memikirkan bagaimana dapat membuka kembali omongan denganku.
Aku akui, sesungguhnya aku menikmati remasan-remasan tangannya tadi. Dan aku akui juga sesungguhnya aku hampir bobol pertahanan “batas wajar”-ku tadi. Tetapi kini aku merasa lebih tegar untuk tak begitu saja merontokkan harga diriku padanya. Tiba-tiba dia melek, menatap aku dan kembali meraih tanganku yang sama-sama di bawah selimut Argo Lawu itu,
“Ah, tangan Mbak sudah normal, nih, tak kedinginan lagi, ya”, dia membuka omongan dan aku menarik ingin tanganku saat dia menyambung bicaranya,
“Mbak kalau.. Eehh.. kalau saya minta tolong, Mbak mau menolong saya?”, aku dengar suaranya sedikit berubah tekanannya dan terbata, sepertinya suara seorang kompromis. Aku merasa memegang kartu tawarku, rasanya “bargenning position” ada padaku,
“Apa, dik. Kalau aku dapat menolong..?”, kata-kataku tak selesai ketika tiba-tiba dia merenggut tanganku dan dipaksanya menggenggam .. ah, begitu aku tak duga kalau hal seperti ini akan dia lakukan padaku.., dia paksa agar aku menggenggam pelernya yang tak tahu sejak kapan dia keluarkan dari celananya, telah berdiri ngaceng tegang di bawah selimut Argo Lawunya.
Sebetulnya aku amat tersinggung dan terhina pada ulah Rendy ini, tetapi tak tahu kenapa aku tiba-tiba serasa ditimpa dan ditampar sebuah sensasi yang hebat saat tanganku dia paksakan menggenggam sesuatu yang begitu luar biasa bagiku. Tanganku merasakan peler Rendy itu begitu hangat, jumbo dan super. Sepertinya aku terpukau oleh sihir jumbonya peler Rendy ini. Untung reflek bertahanku masih menampakkan penolakkan dengan berusaha menarik dari cengkeraman tangannya. Hanya akhirnya karena kekuatan yang tak seimbang, dia membuat aku tak berkutik,
“Tolong, mbak, sebentar saja, saya bener-bener tak dapat menahan nafsu birahiku, tolong mbak, biar aku terlepas dari siksaanku ini, tolon..ng..”, dia menghiba dalam berbisik dan aku semakin tertelikung oleh kekuatan tangannya dan sekaligus sihir nafsu birahiku yang tak mampu menghadapi sensasi penuh pesona peler jumbo dari pria yang begitu ngganteng mirip Onky Alexander ini.
Dia kembali bisikkan ke telingaku,
“Kocok, mbak, aku pengin keluar cepet, nih”, sambil dia pegang tanganku untuk menuntun kocokkannya. Dan aku sudah mengambil keputusan yang begitu berbeda dengan ketegaran awalku tadi. Aku merasa telah dikalahkan oleh suatu kondisi. Aku merasa dia telah memperkosa aku. Memaksa sesuatu demi mengejar kepuasan sexual apapun bentuknya adalah sebuah pemerkosaan. Dia telah memperkosa tanganku. Dan sebagaimana pemerkosaan di manapun juga, para korbannya malu untuk berteriak karena malu ketahuan kalau dirinya diperkosa orang. Bukan sekedar malu tetapi juga takut, bayangkan kalau di antara para penumpang ada yang wartawan koran “kuning” ibu kota, terus besoknya keluar head line “Seorang Ibu Diperkosa dalam Kereta Malam Argo Lawu”, dan suamiku serta anak-anakku membacanya, dengan kemungkinan fotoku sebagai korban pemerkosaan ikut terpampang di head line tadi. Uh, mau disembunyikan kemana mukaku. Jadi keputusanku yaa.., aku layani sajalah apa maunya..
Telah beberapa saat dia mendesah dan merintih lirih, tetapi belum juga ejakulasinya datang. Bahkan kini aku sendiri mulai terjebak dalam kisaran arus birahi sejak tangannya juga merabai putingku dan memainkan puting putingku. Aku terbawa mendesah dan merintih pelan dan tertahan. Aku mengalami keadaan ekstase birahi. Mataku tertutup, khayalanku mengembara, aku bayangkan alangkah nikmatnya apabila peler segede ini meruyak ke kemaluanku. Ah, alangkah nikmatnya.., nikmat sekali .., nikmat sekali..,
“Ayoo, dik, aku sudah cape, nih, keluarin cepeett..”,
Dia tersenyum, “Susah, mbak, kecualii..”,
“Apaan lagi?”,
“Kalau Mbak mau menciumi dan mengisepnya”, gila. Dia sudah gila. Beraninya dia bilang begitu padaku. Tt.. tet.. ttapi .. mungkin aku kini yang lebih gila lagi. Aa.. aak.. ku mengangguk saat matanya menonton mataku. Sesungguhnya sejak tadi saat tanganku menggapai pelernya kemudian merasakan betapa keras, super dan jumbonya aku sudah demikian terhanyut untuk selekasnya dapat menyaksikan betapa mentakjubkan peler segede itu. Aku sudah demikian tergiring untuk selekasnya mencium betapa harumnya aroma peler segede itu, betapa lidahkupun ingin merasakan bagaimana seandainya aku berkesempatan melumat-lumat peler si ganteng Onky ini. Dan kini rasanya yang begitu berharap untuk mengisep-isep itu bukan dia tetapi aku kini yang kehausan dan ingin sekali menciumi dan mengisep peler Onky Alexander-ku ini.
Cahaya lampu Argo Lawu yang memang diredupkan untuk memberi kesempatan para penumpang dapat tidur nyenyak begitu membantu apa yang sedang berlangsung di kursi 14 C dan D ini. Seakan-akan aku tidur di pangkuan suamiku, aku bergerak telungkup menyusup ke dalam selimutnya. Gelap, tetapi bibirku langsung menyentuh kemudian mencaplok peler jumbo idamanku itu. Aku sudah menjadi hewan. Nafsuku nafsu hewaniah. Aku tak lagi memikirkain nilai-nilai kesetiaan dan sembarang nilai lainnya. Aku sudah masa bodo. Nafsuku sudah menjerat aku. Aku mulai mengkulum peler jumbo itu, lidahku bermain dan aku mulai memompakan mulutku ke peler Rendy. Huuhh, aroma pelernyaa.., sungguh aku langsung terhanyut dan bergelegak. Aku mengharapkan sperma dan air mani Rendy cepat muncrat ke mulutku. Aku biasa menelan sperma suamiku, sehingga kini aku juga merasa biasa saja kalau peler ini akhirnya akan memuncratkan spermanya dan aku dijamin menelannya.
Entah bagaimana tampaknya dari luar, selimut Argo Lawu mempunyai di arah selangkangan Rendy dijamin akan naik turun bak gelombang laut selatan yang ganas itu. Aku yakin Rendy sudah memikirkan kemungkinan untuk tak sampai menjadi perhatian penumpang lainnya. Aku sendiri akhirnya demikian masa bodoh. Aku yang sudah demikian larut dalam kenikmatan yang tak mudah kutemui di tempat lain ini terus hanyut dalam keasyikan birahi dengan peler dalam jilatan dan kulumanku. Aku merem melek setiap lidahku menjulur dan menariknya kembali. Rasa asin precum Rendy demikian aku rindukan dan nikmati sepenuh perasaan dan gelinjang nafsuku.
Aroma bulu tebal Rendy begitu memabukkanku. Dalam ruangan selimut yang demikian sempit itu aroma kelelakian Rendy demikian menggumpal merasuki hidungku. Sementara tangan Rendy sendiri kurasakan aktif mengelusi di arah rambutku, terkadang juga turun hingga ke pantatku. Aku menggelinjang tertahan dalam tempat yang serba terbatas ini.
Kini yang kurasakan adalah kehausan yang amat begitu. Aku ingin minum. Aku ingin secepatnya air mani Rendy muncrat dari pelernya ini. Aku begitu haus untuk segera meminum sperma menggairahkannya. Aku lumat-lumat sepenuh perasaanku dengan harapan dapat secepatnya memuaskan Rendy untuk melepaskan spermanya. Kontol itu kuperosokkan dalam-dalam kemulutku hingga menyentuh tenggorokkanku. Aku mengerang, mendesah sambil bergumam meracau. Tanganku juga ikut mengelusi batangnya kekar dan keras itu. Sesekali lidah dan bibirku menjilati batangnya hingga ke pangkal dan bijih pelernya.
Benar, tak sampai 5 menit sebuah kedutan yang begitu keras mengejut dalam mulutku diikuti pancaran menggairahkan air mani Rendy. Kedutan-kedutan selanjutnya membuat mulutku penuh oleh cairan lendir menggairahkan itu. Aku buru-buru menelannya agar tak tercecer. Sayang, khan.
“Terima kasih, ya mbak”, katanya sambil membetulkan celananya dan menarik tutup resluitingnya. Dia sama sekali tak memperhitungkan factor aku. Mestinya dia memikirkan bahwa akupun butuh penyaluran sesudah dia giring aku ke lembah birahi tak terkendali hinga aku kini merasakan harus tuntas melalui orgasmeku. Dilain pihak, waktu juga sudah mengejar, mungkin sekita 20 menit lagi kereta akan sampai ke tujuan. Dengan perasaan yang begitu menggantung aku kembali duduk lucu, seakan tak ada sesuatu yang pernah terjadi. Aku lihat para penumpang lain masih nyenyak dalam mimpi mereka.
Anehnya, sesudah itu Rendy termuat tak acuh padaku. Jangan-jangan karena maksudnya sudah kesampaian. Artinya sejak awal tadi dia banyak memperhatikan aku semata kerena didorong oleh kehendak bvirahinya. Kurang ajar kamu, Rendi. Aku juga menjadi dongkol, marah dan masa bodo padanya. Aku merasa dihinakan dan direndahkan. Aku berfikir mungkin karena aku sudah tua. Ah, memang aku sudah tua. Aku yang sudah tua dan tak tahu diri.
Saat kereta nyampai dia menyambar tas ranselnya dan mendahului aku turun. Mbak, saya duluan ya, katanya kering tanpa sedikitpun keinginan untuk membantu aku bawa tas, kek, koper, kek, tahu bahwa bawaanku pastinya ribet begini. Dasar sudah tua ngak tahu diri, begitu pikirku pada diriku sendiri.
Untung Suryo cepat termuat, dia mencium tanganku dengan penuh hormat dan takzim. Aku yang menerima ciuman hormat dan takzim anakku kembali merasa malu, aku adalah orang tua yang tak tahu diri, hina, memalukan ah.. macam-macam yang serba jeleklah. Nilaiku kini tak setinggi nilai saat aku berangkat diantar suamiku kemarin sore. Yang harus aku usahakan kini adalah mengembalikan rasa percaya diriku.
Peristiwa Kelima,
TETANGGA
Sehabis menikah aku langsung mengikuti suami tinggal di Ibu Kota, Jakarta. Sebagai pegawai negeri suamiku cuma dapat kontrak rumah petak untuk tempat kami berteduh dan seseorang memiliki alamat untuk pulang. Sangat beda rasanya rumah di kota asalku Salatiga dimana hubungan antar manusia masih demikian kental dan saling manusia memanusiakan antara satu terhadap yang lain. Sementara di Jakarta yang aku rasakan pertemuan antar manusia semata-mata lebih didorong oleh adanya kebutuhan duniawi. Hubungan akan berarti baik apabila seseorang dapat memberikan manfaat dunia lebih jumbo dari yang lain. Di Jakarta orang lebih berhitung pada masalah jumlah dengan mengorbankan mutu. Kalau aku dapat memberi lebih banyak dari yang lain berarti aku lebih baik dari yang lain, dan pantas menerima sikap hormat yang lebih tinggi dari yang lain.
Demikianlah suamiku yang dosen Universitas Negeri yang notabene pegawai negeri dengan embel-embel Ir. di depan namanya plus MM di belakangnya tak mampu meraih penampilan dan nilai yang layak di tengah masyarakat di sekitarku. Keluarga Mas Tondy yang penjaga gudang di daerah Cakung yang mengkontrak petak di sebelah kananku rumahku lebih memiliki nilai karena suguhan dunianya jauh lebih dari suguhan kami. Itulah kenyataan metropolitan yang hingar bingar dan gegap gempita ini.
Kebutuhan MCK (mandi, cuci dan kakus) kami berhimpitan cuma dibatasi oleh selembar jumbok yang rawan bolong-bolong. Hanya sikap morallah yang membatasi kami dalam arti yang lebih jauh. Bagi kami, khususnya bagi aku dan Dik Narti istri Mas Tondy tetangga sebelah, sumur adalah segala-galanya. Hampir 90% waktu kami habiskan di seputar sumur dan MCK-nya itu. Suami kami masing-masing sibuk dengan pekerjaannya. Bedanya kalau suamiku, Mas Naryo, seharian siang dia tak ada di rumah, sementara kalau Dik Narti seharian malamnya suaminya jaga gudang di Cakung.
Antara para suami kami praktis jarang jumpa berpapasan karena waktu kesibukkannya yang saling terbalik. Sementara kami para istri juga kesibukan melayani suaminya jatuh pada waktu yang berbeda pula. Sebagai suami istri muda, Dik Narti baru keluar dari kamarnya menuju ke sumur baru sekitar jam 11 siang. Tentu dia harus siap melayani berbagai kebutuhan suaminya yang baru pulang setiap jam 6 pagi itu. Dan aku sendiri sebagaimana yang lain bercengkerama dengan suamiku pada malam harinya sepulang dari pekerjaannya. Kemungkinan penyimpangan cuma terjadi pada saat-saat tertentu, misalnya salah satu dari pasangan di antara kami ada yang perih bisa pula bepergian bisa pula karena sebab yang lain. Suasana seperti itu juga terjadi di keluarga tetangga sekitar kami. Pada pagi hari rata-rata sepi. Anak-anak mereka pergi kesekolah dan para suami hampir seharian penuh mencari sandang pangan.
Telah 5 hari Dik Narti pulang ke desanya dengan maksud menjemput adiknya untuk diajak membantu di Jakarta. Ku lihat Mas Tondy menyiapkan sendiri segala kebutuhan sehari-harinya yang mulai dia lakukan sekitar jam 10 bisa pula 11 pagi, seusai tidur sepulang jaga malam. Dia mencuci pakaiannya, membersihkan rumah, mencuci perabot dapur dan sebagainya. Mau tak mau aku sering berpapasan di seputar sumur yang memang kami pakai berdua keluarga. Walaupun begitu kami jarang saling bicara. Aku lebih senang begitu. Aku takut omongan tetangga yang gampang usil. Mas Tondy hampir seharian selalu berpakaian minimum dengan alasan udara Jakarta yang menggairahkan. Tanpa “ewuh pekewuh” dia selalu cuma bercelana pendek dan melepas bajunya. Aku suka mencuri pandang. Postur tubuhnya yang pastinya tinggi termuat kekar berotot, sesuatu hal yang memang diperlukan untuk tugas semacam penjaga gudang dan semacamnya.
Pagi itu aku sedang masak di dapurku yang sempit. Panasnya udara Jakarta memaksa aku sendiri mondar-mandir di dapur dan sumur cuma menggunakan kutang dan kain yang kuikatkan se-enaknya ketika tiba-tiba Mas Tondy termuat di pintu.
“Mbakyu Larsih, aku mau minta tolong sedikit, nih”, sambil terus nyelonong memasuki rumahku. Aku kaget, mau apa dia. Kulihat wajahnya kemerahan dengan matanya yang seperti kucing lapar menonton ikan asin menatap mataku. Aku merasakan sesuatu yang tak begitu nikmat. Adakah yang begitu penting sehingga dia harus masuk ke rumahku tanpa permisi lebih dahulu? Antara khawatir dan ingin menolong tetanga aku bangun berdiri mengikuti langkahnya,
“Ada apa, Mas Tondy?”, aku menonton matanya yang semakin menakutkanku,
“Jangan marah, ya Mbak. Masalahnya aku bener-bener tak tahan, nih. Dik Narti khan sudah 5 hari pulang kampung. Aa.. kkuu.., mm.. ampun.., ya, mBak, tadi pagi saat pulang jaga malam aku mendengar mBak dan Mas Naryo masih ada di kamar sedang asyik masyuk”. Deg, hatiku. Kenapa Mas Tondy teganya ngomong begitu padaku. Aku tak sempat berpikir lebih jauh saat dengan serta merta dia meraih tubuhku dengan tangannya yang kuat membungkam mulutku kemudian beringsut merebahkan aku ke kasur kamarku yang memang cuma terpisah oleh dinding jumbok dapurku. Dengan sigapnya dia jejalkan gombal dari kantongnya ke mulutku yang aku rasa telah dia siapkan sebelumnya. Kemudian dengan kekuatan ototnya ditelikungnya tanganku untuk dia ikatkan ke ranjangku. Aku langsung dilanda ketakutan yang amat begitu. Aku ingat suamiku, ingat sanak keluargaku. Mungkinkan Mas Tondy mau membunuhku? Tetapi justru ketakutanku itulah yang membuat aku lemas dan langsung menyerah.
“mBak Larsih tak usah takut, aku tak akan nyakitin mBak, kok. Aku cuma perlu sebentar saja. Aku sudah pengin banget, nih. Tadi pagi saat Mas Naryo menyetubuhi mBak Larsih aku ngintip dari balik dinding”, dia berbisik dengan tajam ke telingaku untuk meyakinkan bahwa aku tak akan disakitinya,
“Aku tak tahan, mBak, tolongin aku, Mbak..”, dia langsung merangsek buah dadaku dengan buasnya. Aku melawan karena hal semacam ini tak pernah sama sekali terbit dalam pikiranku dan bayanganku.
“Aku tak tahan bener, mBak.. Tolongin aku, mBak..”, kini ketiakku dia ruyaki sambil menyedoti dan menciumi habis-habisan. Dengan tanganku yang terikat sisa tenagaku sama sekali tak sebanding dengan penjaga gudang berotot ini. Dengan kasar penuh nafsu kain penutup tubuhku dia tarik dan lepasi dengan mudahnya. Tangannya yang kasar dan kokoh itu langsung mengelus-elusi pahaku. Kemudian dengan cepat juga jari-jarinya menyeruak kekemaluanku. Aduh, tak pernah terpikir olehku akan ada pria sehabis suamiku yang menyentuh barang kehormatanku ini. Aku tak begitu saja dapat menerima kenyatan ini. Aku menangis pilu walaupun cuma air mataku saja yang menampakkan tangisku. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai tanda penolakanku akan perbuatan Mas Tondy ini. Aku anggap dia sudah berlaku begitu tak menghormati aku, suamiku, keluargaku. Aku begitu takut akan aib yang akn menimpa kami.
Tetapi Mas Tondy terus membisiki aku,
“Tenang mBak Larsih, tak apa-apa. Jangan takut, tak ada yang bakalan tahu. Hanya kita berdua saja yang tahu. Aku berjanji untuk seumur hidupku cuma akan menjadi rahasia kita berdua saja”. Benarkah? Penjaga gudang ini ternyata memang lihay. Benar bisa pula tak kata-katanya itu ternyata mampu memberikan aku kesejukkan, setidak-tidaknya melerai rasa takutku akan kemungkinan dia melukai bisa pula menyakiti tubuhmu. Seakan aku memiliki pilihan, melawan dengan risiko dia akan bertindak brutal dengan menyakiti aku bisa pula menyerah pasrah dengan risiko aku harus mengikuti dan memenuhi permintaannya. Dan menyadari akan keterbatasanku saat ini pilihan kedua akan memberikan padaku keselamatan fisikku. Hal-hal lain soal nantilah, yang penting aku selamat lebih dahulu.
Kini aku mulai merasakan secara rinci apa yang sedang dan kemungkinan akan dia lakukan padaku. Jari-jarinya yang terus menari-nari di kemaluanku terasa begitu menggelikan saraf-saraf peka birahimu. Aku mulai merasakan kenikmatan. Aku merasakan jari-jari Mas Tondy begitu pintar membangkitkan kehausan birahiku.
Melihat aku bersikap menyerah dan pasrah dia semakin ganas melumati ketiak yang kemudian melata bergeser ke leherku kemudian juga ke tepian kupingku.
“mBak Larsih, mBak begitu bahenol sekali. Aku tadi pagi menonton mBak yang sedang digauli Mas Naryo, oh, mBak.., aku tak tahan menonton wajah mBak yang menggelinjang menerima kenikmatan dari Mas Naryo. Sekarang mBak mesti nyobain kenikmatan dari aku, ya, mBak?”.
Kemudian dengan pelan tetapi dijamin Mas Tondy membelah selangkanganku. Dia menempatkan tubuhnya tepat di antara selangkanganku. Dan dengan sekejab aku merasakan sesuatu yang hangat menggairahkan mendesak-desaki kemaluanku. Aku sudah tahu, itu pelernya.
Rasa pasrah dan menyerahku cuma memberikan aku satu pilihan, nikmatilah. Dan aku mencoba mencari kenikmatannya. Saat Mas Tondy terus mendesakkan pelernya dengan cara mendorong menaik-turunkan tubuhnya memompakan pelernya ke kemaluanku dengan refleks yang aku miliki aku menjemputinya.
Aku memutar-mutar bokongku kemudian menaik turunkannya untuk menjemput pelernya. Aku merasa mulai gatal di lubang mekiku. Aku merasakan mulai mengalirnya cairan birahiku. Dan itu juga langsung diketahui oleh Mas Tondy yang semakin cepat dan keras mendesakkan pelernya ke kemaluanku.
Dan tanpa ayal lagi, akhirnya seluruh batangan peler Mas Tondy tenggelam dilahap kemaluanku. Hoohh.., aku tak menduga bahwa aku akan mendapatkan kenikmatan yang begitu luar biasa di pagi hari ini. Kontol Mas Tondi yang berada dalam terkaman nonokku keluar masuk menggelitiki dinding-dinding peka mekiku. Aku menggelinjang, mendesah dan merintih lirih. Aku ikut memompa mengimbamgi pompaan Mas Tondy.
Mas Tondy menatapku sesaat sementara pelernya terus memompa memekku. Kemudian dia lepaskan sumpal mulutku untuk selanjutnya dia daratkan bibirnya ke bibirku. Kami saling melumat. Aku merasa begitu kehausan. Lepas dari sumpal itu sungguh melegakan. Dan kini sikapku adalah ingin memberikan sepenuhnya kepuasan kepada Mas Tondy. Aku sudah memasuki gerbang nafsuku sendiri. Aku juga ingin meraih madunya paksaan dan pemerkosaan dia atasku. Aku melumat habis-habisan mulutnya. Aku hisap-hisap lidahnya, aku sedoti ludahnya. Aku mengerang dan meracau,
“Mas Tondy, ampunin aku, ya.., aku tadi takut banget.., Mas Tondy, uuhh.. Kontolmu ennaakk banget.. Mas Tondy, ampunin mBak Larsih, ya.. Mas Tondii.. teruszzhh.. ennhhaakk bangett..”, dan Tondy terus memompakan pelernya ke memekku dengan mantab sekali. Kami telah meraih irama persanggamaan dengan. Kami sedang mengejar kepuasan puncak dari persanggamaan ini.
Akhirnya tali yang mengikat tangankupun dilepaskannya. Kini tak ada lagi pemerkosaan. Yang ada adalah kesepakatan dengan untuk meraih puncak nikmat birahi. Keringat mulai membanjir dari tubuh-tubuh kami. Mas Tondy menggenjot dan aku menjemput. Kakiku kunaikkan ke pundaknya hingga peler Mas Tondy terasa mentok menyentuh rahimku. Nikmat yang kurasakan sungguh luar biasa. Dari penyebab awalnya dimana norma sopan dan adab tak lagi dijadikan batasan membuat aku juga dapat berlaku saenakku, kini kurenggut kepala Mas Tondy. Kudekatkan ke wajahku dan kuenyoti bibirnya sambil kujambaki rambutnya. Nonokku yang gatalnya semakin tak ketulungan membuat aku jadi buas, binal dan liar tak sebagaimana saat aku bersanggama dengan suamiku selama ini.
Aku menggelinjang-gelinjang dengan begitu hebatnya. Aku berteriak histeris tertahan sebagai wujud pelampiasan nafsu birahiku yang tak terkendali ini. Aku ingin dipuaskan sejadi-jadinya. Aku berguling. Dengan rambutku yang telah lepas terurai dari ikatannya dan dengan keringat yang semakin membasah mengucur dari tubuhku aku tumpakin tubuh Mas Tondy. Aku desakkan habis-habisan nonokku ke pelernya untuk menggaruk lebih keras kegatalan di dalamnya. Aku begitu gelisah dan resah menunggu hadirnya orgasmeku. Setiap kali aku mendongak dan menyibakkan rambutku kemudian kembali menunduk histeris. Tangan-tanganku mencekal gumpalan dada Mas Tondy hingga kuku-kukuku menancap dalam ke dagingnya. Rasa gatal yang begitu mendesaki nonokku, aku tahu bahwa tak akan lama cairan birahiku akan tumpah ruah. Aku sudah demikian lupa diriku.
Akhirnya kami sama-sama mencapai kepuasan puncak kami. Cairan hangat yang menyemprot dari peler Mas Tondy ke dalam nonokku langsung disambut dengan muntahan berlimpah cairan birahi nonokku. Aku langsung tersungkur sementara kedutan-kedutan peler Mas Tondy belum sepenuhnya usai.
Aku masih melamun dalam penyesalan saat Mas Tondy bangkit dari ranjangku. Dia mencium keningku dan berlalu. Kudengar bisikan terima kasih dari bibirnya. Saat aku ingin sekali lagi menangkap untuk mengecupnya dia telah hilang di balik pintu.
Siang itu aku tak masak. Rasa penat disekujur tubuhku membuat aku bermalasan sepanjang hari itu. Saat Mas Naryo pulang kulihat dia membawa bungkusan plastik di tangannya. Dia membawa mie goreng dan puyunghai kesukaanku. Seakan aku melupakan apa yang telah terjadi siang tadi kini aku duduk makan dengan suamiku dengan perasaan penuh galau. Pada Mas Naryo aku sampaikan keinginanku untuk beberapa waktu aku pulang mudik. Aku bilang sudah kangen sama sanak famili di Salatiga. Mas Naryo menatap aku, menatap mataku. Dia berusaha membaca relung hatiku. Dia setuju aku pulang. Dia menyadari bahwa aku masih dalam proses adaptasi dalam menyelami kehidupan Jakarta. Dia akan menjemputku saat kembali ke Jakarta nanti.
Rupanya permintaanku pulang dia sambut dengan sebuah rencana yang memberikan kejutan bagiku. Sesudah barang tiga minggu dengan penuh rindu aku menunggu jemputan Mas Naryo, dia menelponku. Dia bilang bahwa tak dapat datang menjemputku karena kesibukkan di kampusnya. Tetapi dia telah mengirimkan 5 lembar tiket Garuda yang dapat aku ambil di kantor Garuda Semarang. Dia minta supaya aku mengajak serta kedua orang tuaku dan 2 orang adikku yang sedang liburan sekolah. Sesuai dengan hari yang ditetapkan Mas Naryo menjemputku di bandara Seringrno Hatta dengan sebuah Kijang baru. Aku heran ternyata Mas Naryo dapat menyopir mobil sendiri.
Dan kejutan yang paling hebat dari Mas Naryo adalah saat mobil Kijang ini tak meluncur ke rumah yang kukenal sebagai rumah kami selama ini. Melalui jalan tol Jagorawi Mas Naryo membawa mobilnya ke kompleks perumahan dosen di Cibubur. Kami memasuki rumah baru kami yang jumbo dan luas. Segala barang-barang dari rumah lama telah dipindahkan seluruhnya ke rumah baru ini. Aku menonton bagaimana orang tuaku dan adik-adikku menyambut gembira atas limpahan rejeki dan rahmat kepada kami. Di depan mereka Mas Naryo merangkul aku dan mencium pipiku yang kusambut dengan sepenuh hangat hatiku. Aku membulatkan tekadku untuk sepenuhnya mengabdi dan mendukung segala usaha dan karier Mas Naryo suamiku.
E N D

0 komentar "Aku di perkosa dan Gila seks..", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar